Tae Pung kembali ke kamar Pak Kang. Ia mendapati Do Ran duduk diam menunduk. Jelas sekali sakit hati dan kesedihannya. Tae Pung melangkah masuk dan duduk di samping Do Ran. Melihat Tae Pung masuk, Do Ran menyeka air mata dari sudut-sudut matanya.
“Aku minta maaf dan malu karena selalu menunjukkan sisi diriku ini padamu.”
“Kenapa kamu minta maaf dan malu? Kamu tidak berbuat salah. Dia hanya memikirkan diri sendiri, menerobos kemari, dan mengasarimu. Dia yang salah. Ini bukan salahmu.”
“Do Ran. Aku mau melindungimu. Tidak bisakah kamu memutus ikatan hubunganmu di masa lalu dan bergantung kepadaku sekarang?”
“Apa maksudmu, Tae Pung?” tanya Do Ran.
“Aku menyukaimu. Setiap kali kamu menderita, hatiku juga hancur. Apa kamu tahu senyumanmu begitu cantik? Aku mau membuatmu tersenyum lagi.”
“Tae Pung…”
“Maaf. Aku tahu melebihi siapa pun soal kondisimu saat ini. Kamu hanya harus memperhatikan Pak Kang. Maaf.”
“Do Ran. Hubungi aku kapan pun kamu butuh bantuan. Aku akan berlari kemari. Aku akan menemanimu.”
Kata-kata Tae Pung menciptakan suasana canggung di ruangan itu.
***
Dae Ryook masih memikirkan kata-kata yang diucapkan pak tua itu. Masih terngiang jelas di telinganya bahwa pak tua itu merasa yakin bahwa Kim Young Hoon/Pak Kang yang membunuh ayah Da Ya.
“Apa aku salah?” katanya.
Ia jelas mendengar ucapan pak tua itu saat mengunjungi Pak Kang. Jelas bahwa pak tua itu meminta maaf berulang kali. Dan ia mengatakan semua terjadi karenanya.
“Tidak, pasti ada sesuatu.” katanya yakin.
Ia membuka-buka kembali dokumen yang ia terima dari sunbae-nya. Ada banyak informasi di sana.
“Ah … Benar. Pegawai wanita itu juga ada di TKP. Aku harus mencarinya. Dia pasti tahu sesuatu.”
Ia segera beranjak.
***
Do Ran masih berada di sisi ayahnya. Kata-kata si Mak terlintas lagi. Betapa ia mengatakan tidak akan merestui walau Do Ran melangkahi mayatnya. Si Mak bahkan mengatakan bahwa ia puteri seorang pembunuh. Kalau ia punya nurani, ia tidak akan melakukannya.
Kim Do Ran menghela nafas panjang. Saat itulah masuk Dae Ryook.
“Do Ran.”
“Ada apa lagi kemari?” tanya Do Ran.
Melihat sikap Do Ran berubah, Dae Ryook heran, “Ada apa? Apa terjadi sesuatu?”
“Mari bicara di luar.”
“Do Ran. Aku sudah memikirkannya. Kita tidak boleh menyerah seperti ini.”
“Direktur Wang. Jangan kemari lagi.” kata Do Ran.
“Do Ran….”
“Terima kasih sudah menyelidiki kasus ayahku. Berkat kamu, aku sempat merasa ayahku mungkin saja dijebak dan berharap ada yang salah dengan kasusnya. Tapi kita sudah dengar kemarin. Dia yang melakukannya. Aku kesulitan menerimanya semalam. Aku tidak mau banyak berharap, tapi pada akhirnya semua itu hancur.”
“Do Ran… Untuk kali terakhir…” belum sempat Dae Ryook meneruskan, Do Ran sudah meneruskan kalimatnya,
“Sekarang, aku tidak mau mencemaskan apa pun selain kesembuhan ayahku. Aku akan mencari tahu soal kasus ayahku. Jangan datang ke sini lagi. Ayah sendirian. Aku harus pergi.” Do Ran berlalu meninggalkan Dae Ryook yang hanya berdiri saja.
“Ya. Mari cari juru tulisnya dahulu.” katanya. Ia mengambil ponsel dan menelepon, “Hai, ini Wang Dae Ryook. Aku ingin minta tolong…”
***
“Anda bahkan tidak bisa minum air?” tanya bu dokter.
“Ya, dan itu membuatku stres. Bahkan air putih berbau busuk, begitu pula nasi matang. Saat hendak makan sundae karena mengidamkannya, tiba-tiba aku tidak tahan baunya. Aku suka sup kimchi, tapi kini menatapnya saja muak. Dokter, apakah aku akan mati kelaparan?”
Dokter tertawa kecil, “Itu tidak akan terjadi. Itu karena kehamilan Anda masih tahap awal. Kami akan merawat Anda selama beberapa hari dan menginfus Anda. Anda perlu beristirahat. Anda menjadi ibu di usia yang cukup tua, jadi, harus berhati-hati.”
“Baiklah, Dokter.”
“Hai, ini aku. Do Ran, maafkan aku. Aku tidak enak badan dan tidak bisa menjenguk hari ini.”
“Bibi sakit parah? Ada apa?” tanya Do Ran.
“Itu … Akan kuberi tahu nanti. Sakitku tidak serius, jangan khawatir. Aku akan sembuh jika beristirahat. Bilang ke ayahmu aku tidak bisa datang, tapi dia tidak perlu khawatir… Tidak, Do Ran. Sambungkan dengannya. Akan kuberi tahu dia sendiri.”
“Sebentar, Bi… Ayah, Bi Hong Joo mau mengatakan sesuatu.”
Do Ran mengangsurkan ponselnya ke arah telinga ayahnya.
“Pak Kang? Aku… Aku tidak bisa makan banyak belakangan ini, jadi, sedang dirawat di rumah sakit untuk diinfus. Jangan khawatir. Meski kamu merindukanku hari ini, bertahanlah dan tunggu aku, ya? Aku cinta kamu, Sayang.”
***
Demensia Nyonya Park kambuh, dan dia sedang mengejar Da Ya.
“Dasar jalang!”
“Nenek…” Da Ya berlari terus.
“Dasar jalang! Beraninya kamu mengusir Myeong Hee dan enak-enakan makan di rumah ini sendirian? Kamu itu anaknya simpanan. Ini bukan rumahmu, Jalang!”
“Nenek…”
“Nyonya Park…”
“Ada apa lagi sekarang?”
“Lepaskan aku, Bu!”
“Astaga.”
“Bu Cho, hubungi Do Ran sekarang juga.”
“Baik.”
“Berandal! Tetap di sana! Akan kubunuh kamu hari ini!”
“Lepaskan aku!”
“Nenek…”
“Dasar berandal licik.”
“Ibu.”
“Ibu”
“Selamatkan aku.”
“Lepaskan! Kamu. Mari selesaikan ini sekarang. Musuh memang ditakdirkan bertemu. Kamu mengusir Myeong Hee ke mana? Kamu mengirimnya ke mana? Kembalikan Myeong Hee.”
“Apa? Dia menanyakan Myeong Hee?” tanya Do Ran mengangkat telpon Miss Cho.
“Ya. Aku harus bagaimana? Bisakah kamu mampir?”
Do Ran bisa mendengar Nyonya Park berteriak-teriak dan memaki.
“Maafkan aku. Ayahku dirawat di rumah sakit. Aku tidak bisa ke sana.”
“Astaga, maaf. Seharusnya aku tidak menelepon. Kamu pasti mencemaskan Pak Kang. Akan kuhubungi Pimpinan untuk membereskan ini. Jangan khawatir soal Nyonya Park dan jagalah ayahmu.” kata Miss Cho.
Teriakan Nyonya Park makin keras terdengar. Do Ran jadi serba salah. Akhirnya …
“Bi Cho, tunggu.” katanya
“Ya, Nona Kim.”
“Bisakah kamu mengantar Nenek kemari?”
“Ke rumah sakit?”
“Ya. Sampai dia ingat kembali, akan kujaga dia bersamaku.” kata Do Ran.
“Kamu yakin itu tidak apa-apa?” tanya Miss Cho
“Ya. Dia akan tenang begitu sudah bersamaku. Tidak apa-apa.”
“Baiklah, akan kubawa dia.”
“Memang dia salah apa? Pimpinan dan istrinya jahat sekali. Seharusnya mereka membiarkan Do Ran kembali.” kata Miss Cho setelah menutup ponselnya.
“Bi Cho!”
Tiba-tiba Da Ya dan Mak Lampir menyerbu masuk. Dikejar oleh Nyonya Park.
“Nyonya Park. Mari kita ke tempat Myeong Hee.” kata Miss Cho.
“Apa? Kamu tahu dia di mana?” tanya Nyonya Park.
“Ya. Tadi aku bicara dengannya. Dia memintaku membawa Anda ke sana.”
“Sungguh? Benarkah? Baiklah. Lantas, aku harus bersiap.” jawab Nyonya Park yang berubah tenang dan senang.
“Kupikir kalian mengusir Myeong Hee. Maaf. Myeong Hee melarangku membenci kalian. Maaf.” Nyonya Park kelihatan senang dan pergi dari situ.
“Bu Cho. Apa yang terjadi? Untuk apa membawa Ibu ke Myeong Hee? Kamu menelepon Do Ran?” tanya Mak Lampir.
“Ya.”
Mendengar ini, mata Mak Lampir melotot sambil berteriak, “Miss Choooooo! Beraninya kamu meneleponnya!!” katanya marah.
Miss Cho jadi agak takut, “Itu karena…” ia melihat ke arah Da Ya.
“Ibu. Aku memintanya menelepon Do Ran. Do Ran setuju merawat Nenek tiap kali dia menggila.” jawab Da Ya.
“Kamu akan membuat ibu matiiiiiii !!!” teriaknya.
“Do Ran menyuruhmu membawa Ibu ke sana?” tanyanya kemudian.
“Ya. Dia akan bersama Nyonya di rumah sakit.” kata Miss Cho.
Mak Lampir jadi sewot, dia berteriak-teriak.
“Semua ini salah Ibu. Kenapa dia terus menanyakan Myeong Hee? Kenapa? Aku harus bagaimana? Ini membuatku gilaaaaa !” teriaknya sambil berjalan pergi.
***
Do Ran sedang memijati kaki Pak Kang ketika Nyonya Park masuk.
Nyonya Park menghambur memeluk Do Ran, “Myeong Hee. Myeong Hee. Kenapa kamu di sini? Kenapa tidak berkunjung? Kamu sedang merawat siapa?” tanyanya.
Saat melihat siapa yang terbaring, “Astaga. Itu Soo Il. Kenapa… Sedang apa dia di sini? Dia sakit parah?” tanyanya khawatir. Kita tahu ya? Nyonya Park pas demensia, naksir Pak Kang.
Jawab Do Ran, “Kak Geum Byung. Dia habis menjalani operasi dan belum sadarkan diri. Jadi, aku sedang menjaganya.”
“Apa? Dia belum sadarkan diri? Astaga, Soo Il. Soo Il, tidak. Soo Il, kumohon sadarlah. Astaga.” Nyonya Park menangis.
“Jangan menangis. Dia akan segera siuman. Pasti.” kata Do Ran.
“Baiklah. Aku tidak akan menangis. Dia akan segera siuman. Myeong Hee. Kita harus makan dengan teratur dan tetap tegar agar bisa membantunya sembuh. Kami membawakanmu makanan lezat.” kata Nyonya Park sambil memandang Miss Cho. Kelihatannya, Miss Cho juga menangis sedih. Tahu juga ‘kan? Miss Cho juga naksir Pak Kang.
Sambil menyeka air matanya, “Nona Kim. Kamu pasti tidak makan teratur karena sibuk merawatnya, jadi, Bu Yeoju mengemaskan ini.” ia menyerahkan bungkusan makanan.
“Terima kasih. Sampaikan terima kasihku untuk Bi Yeoju.” kata Do Ran.
“Aku harus pergi. Bu Oh melarangku berlama-lama. Sampai jumpa.” tanpa menanti jawaban Miss Cho keluar sambil menangis. Do Ran mengejarnya,
“Bi Cho. Bi Cho…”
Nyonya Park ikutan, “Myeong Hee…. Myeong Hee. Aku mau ikut.”
“Jangan mengikutiku keluar. Kembalilah ke dalam.” kata Miss Cho di luar kamar. Ia masih saja nangis.
“Baiklah, sampai jumpa.” Do Ran kemudian masuk. Diikuti Nyonya Park.
Di luar, sambil menangis Miss Cho berkata, “Dia pasti akan merepotkan karena selalu mengikutinya. Tapi Do Ran tidak menunjukkan bahwa dia kesusahan. Dia menantu terbaik yang pernah ada. Pak Kang-lah yang berbuat salah. Nona Kim tidak salah apa-apa.”
Ia pun pergi dari situ.