
Film horor dan misteri sering kali berjalan beriringan. Untuk menciptakan kisah yang benar-benar menakutkan, keseimbangan antara pengungkapan dan rahasia menjadi hal yang krusial. Jika terlalu banyak dijelaskan, ketegangan bisa hilang. Namun, jika terlalu banyak disembunyikan, penonton akan kesulitan memahami jalan cerita dan kehilangan keterikatan emosional terhadap tokohnya.
Hal itulah yang terjadi pada Vicious (2025), film horor psikologis garapan sutradara Bryan Bertino, yang dibintangi oleh Dakota Fanning sebagai tokoh utama bernama Polly. Meski memiliki premis yang menarik dan akting kuat dari Fanning, film ini justru terjebak dalam arah yang tidak jelas dan ritme yang terlalu lambat.
Sinopsis Singkat: Teror Dimulai dari Sebuah Kotak Misterius
Sejak awal, Vicious sudah menampilkan suasana yang suram dan penuh ketidaknyamanan. Set desain rumah Polly menggambarkan banyak hal tentang karakternya bahkan sebelum ia berbicara. Rumahnya berantakan, mencerminkan kekacauan batin dan rasa putus asa yang ia alami. Ia juga menerima banyak panggilan telepon tentang tugas-tugas yang belum ia selesaikan—tanda bahwa hidupnya berada di ambang kehancuran.
Semua berubah ketika seorang wanita tua misterius (diperankan Kathryn Hunter) muncul di depan pintunya, meminta bantuan. Polly, dengan rasa iba, memutuskan untuk membiarkannya masuk—sebuah keputusan fatal yang menjadi awal dari mimpi buruknya.
Wanita itu kemudian meletakkan sebuah kotak kecil berisi jam pasir di atas meja dan dengan tenang mengatakan bahwa Polly akan mati. Awalnya Polly menanggapinya dengan skeptis, tetapi ia segera menyadari bahwa kotak tersebut menuntut “persembahan” untuk menyelamatkan hidupnya.
Kotak itu meminta tiga hal: “sesuatu yang kau benci, sesuatu yang kau butuhkan, dan sesuatu yang kau cintai.”
Konsep Menarik yang Gagal Dieksekusi
Premis ini sebenarnya menjanjikan dan mampu menimbulkan rasa penasaran. Sayangnya, justru di situlah film mulai kehilangan arah.
Pacing-nya sangat lambat—membutuhkan waktu hampir 30 menit hanya untuk memperkenalkan konsep “persembahan”. Setelah itu pun, eksekusi terasa bertele-tele, tanpa penjelasan jelas mengenai siapa atau apa yang menyerang Polly, mengapa ia menjadi target, dan apa akibat dari tindakannya.
Penonton dibiarkan menebak-nebak sepanjang film, bukan karena misterinya dalam, melainkan karena naskahnya tidak tahu ke mana arah cerita akan dibawa. Momen ketegangan pertama memang sempat membangun emosi dan memberikan sedikit gambaran masa lalu Polly, tetapi setelah itu semuanya menurun drastis.
Peralihan ke Horor Sadistik Tanpa Makna
Mulai dari “persembahan” kedua, Vicious berubah menjadi tontonan sadistik yang lebih mirip torture porn ketimbang horor psikologis.
Arwah atau entitas dalam kotak tersebut memaksa Polly untuk melakukan tindakan-tindakan ekstrem—termasuk menyakiti dirinya sendiri hingga kehilangan jari-jarinya.
Beberapa adegan memang berhasil menciptakan suasana tegang dan menakutkan, namun tidak memberikan perkembangan berarti bagi karakter atau alur cerita. Teror yang muncul terasa hampa, hanya sekadar untuk mengejutkan penonton tanpa pesan yang jelas.
Tema Depresi yang Tidak Tersampaikan
Sebenarnya, Vicious mencoba menyampaikan pesan tentang depresi, penyesalan, dan bagaimana seseorang harus berdamai dengan dirinya sendiri. Itulah mengapa bagian awal dan “pengorbanan pertama” terasa kuat secara emosional. Namun sayangnya, pesan itu menghilang di tengah jalan akibat ritme yang lambat dan arah narasi yang kacau.
Menjelang akhir, film mencoba menghadirkan plot twist besar yang seharusnya membuka tabir misteri. Namun, momen tersebut terasa hambar karena tidak ada pembangunan emosi atau konflik yang mengarah ke sana. Akibatnya, alih-alih mengejutkan, akhir film justru terasa datar dan membosankan.
Akhir yang Terlalu Panjang dan Melelahkan
Jika sebagian besar film terasa lambat, bagian akhirnya jauh lebih parah. Saat penonton merasa film akan segera berakhir, ternyata masih ada 30 menit tersisa yang terasa seperti waktu paling panjang dalam hidup. Alur cerita berjalan tanpa arah, membuat klimaks yang seharusnya menegangkan justru terasa melelahkan.
Satu-Satunya Hal yang Layak Dipuji: Dakota Fanning
Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, Dakota Fanning tampil luar biasa.
Ia mampu menghidupkan karakter Polly dengan sangat ekspresif hanya melalui gestur, tatapan, dan bahasa tubuh. Tanpa banyak dialog, penonton bisa merasakan ketakutan, kecemasan, dan trauma yang menghantui dirinya.
Namun, meski Fanning memberikan performa terbaik, ia tidak mampu menyelamatkan film yang sudah kehilangan arah sejak awal. Dengan sedikit karakter pendukung dan durasi yang panjang, bahkan penampilan akting sekuat apa pun tidak cukup untuk membuat penonton tetap terikat.
Kesimpulan: Terlalu Banyak Misteri, Tanpa Tujuan yang Jelas
Vicious adalah bukti bahwa misteri berlebihan tanpa arah yang jelas bisa menjadi bumerang bagi film horor, tak peduli seberapa kuat premis atau akting pemerannya.
Film ini memiliki potensi besar untuk menjadi kisah psikologis menegangkan tentang rasa bersalah dan penebusan, namun gagal mencapai potensinya sendiri.
Pada akhirnya, Vicious (2025) bukanlah film yang benar-benar buruk dari segi teknis—sinematografi dan atmosfernya cukup memukau—tetapi narasi yang berantakan dan pacing yang lamban membuat penonton lebih ingin film ini segera berakhir daripada mengetahui akhir ceritanya.
Informasi Tambahan Film
- Judul: Vicious
- Tahun Rilis: 2025
- Sutradara: Bryan Bertino
- Pemeran Utama: Dakota Fanning, Kathryn Hunter, Oliver Finnegan
- Genre: Horor, Misteri, Psikologis
- Durasi: 120 menit
- Bahasa: Inggris
- Distributor: Screen Gems / Sony Pictures